Belanda Hitam di Gudang Arang


Belanda Hitam di Gudang Arang
di post kan oleh:.....>>>>
Walentina Waluyanti – Belanda 

Londo Ireng nyangkut di Gudang Arang? Bagaimana ceritanya? Orang Jawa menyebut pendatang dari benua asing itu, Londo Ireng alias Belanda Hitam. Di abad 19, mereka banyak terlihat di Purworejo dan Semarang. Bahkan, di Purworejo sampai sekarang ada daerah bernama “Gang Afrika”.
Dulu, Gang Afrika di Jalan Sudirman di Purworejo, oleh penduduk setempat disebut “Gudang Arang”. Gang Afrika di Purworejo ini memang dulu dikenal sebagai perkampungan orang-orang Afrika.
Kenalkan! Saya Belanda hitam! Begitu kadang saya dengar candaan orang Maluku di Belanda saat memperkenalkan dirinya. Ungkapan “Belanda Hitam” sering juga kita dengar sebagai olok-olok terhadap orang Indonesia yang bertingkah kebelanda-belandaan. Selain itu, sebutan “Belanda Hitam” sering ditujukan untuk orang pribumi yang bekerja untuk Belanda sebagai tentara KNIL.

                                                      Foto: Tentara KNIL
Tapi, siapakah sesungguhnya Belanda Hitam itu? Bagaimana awal mulanya muncul sebutan ini? Tidak seperti yang diduga, sebutan “Belanda Hitam” aslinya bukanlah sebutan untuk orang Maluku, orang Jawa, dan pribumi lain yang bekerja sama dengan Belanda.
Istilah “Belanda Hitam” adalah istilah resmi yang digunakan pemerintah Belanda di abad 19. “Zwarte Hollanders” atau Belanda Hitam, awalnya sama sekali bukan kata ejekan maupun sindiran. Istilah ini resmi digunakan sejak Belanda merekrut orang-orang Afrika dari Ghana, untuk menjadi tentara di Hindia Belanda (Indonesia).
Sesudah perekrutan tadi, status hukum para prajurit asal Afrika ini lalu disesuaikan dengan peraturan negara. Menurut peraturan kewarganegaraan di Belanda, para prajurit asal Afrika itu tergolong berkebangsaan Belanda. Dan sejak itulah dalam hukum negara, para prajurit Afrika itu berkategori “Belanda Hitam”.
Foto: Tentara KNIL
Ide merekrut orang-orang dari Afrika tadi, bermula ketika sekitar tahun 1830 Belanda mengalami kekurangan tenaga prajurit dari Eropa. Karena itu, pemerintah Belanda memutuskan merekrut orang Afrika dari Gold Coast, Afrika Barat. Perhitungannya, prajurit dari Afrika dianggap lebih bisa beradaptasi dengan iklim tropis. Juga lebih tahan penyakit daerah tropis. Karena itu, orang Afrika dinilai cocok bekerja sebagai prajurit KNIL di Hindia Belanda. Akhirnya, sekitar tahun 1831 dan 1872, sebanyak kira-kira 3000 prajurit Afrika didatangkan ke Jawa dan Sumatera.
Selanjutnya, seusai masa dinas, tidak semua orang Afrika itu kembali ke tempat asalnya di Ghana. Tak sedikit yang tinggal dan beranak cucu di Jawa, karena menikah dengan wanita Jawa. Di Purworejo, di tahun 1859, Raja Willem III menyediakan sebidang tanah yang dimaksudkan sebagai tempat bermukimnya para prajurit Afrika itu. Di lokasi ini juga tinggal pensiunan KNIL keturunan Afrika, serta keluarganya. Karena itu, tempat ini disebut “kampung Afrika”.
Evelien Klink, lahir di Jawa tahun 1930, berdarah Afrika Jawa, menggambarkan kampung Afrika di Purworejo.“Walau penduduk setempat menamakan kampung itu Gudang Arang, namun rumah-rumah di sana besar dan indah. Kebun-kebunnya luas, dengan sawah di sekitarnya. Juga banyak pohon buah-buahan. Rambutan, jeruk bali, jambu dan belimbing”.
Selain di Purworejo dan Semarang, keturunan Afrika ini juga banyak tersebar di kamp militer di Batavia, Solo, Yogya, Ambarawa, Madiun, Salatiga, Surabaya. Keturunan mereka umumnya bernasib tak jauh beda dengan orangtuanya. Anak laki-laki umumnya mewarisi pekerjaan ayahnya, juga sebagai tentara KNIL. Dan anak perempuan, seperti ibunya yang pribumi Jawa, umumnya juga mendapat pasangan tentara KNIL.
Selebihnya, sesudah masa dinas, sekitar ratusan prajurit Afrika memilih kembali ke Afrika. Sehubungan dengan ini, saya tertarik menyimak momen yang terekam dalam karya pelukis impresionis Belanda, Isaac Israels (1865-1934).
Painting by Isaac Israëls
Di karya lukisnya, Isaac Israels menuangkan momen bersejarah kembalinya prajurit Afrika itu. Ia melukis Kees Poop, salah seorang serdadu Afrika yang terluka seusai perang Aceh. Karena status Eropa-nya, prajurit ini memakai nama Belanda, Kees Pop. Nama asli Afrika-nya tidak diketahui. Lukisan itu dibuat ketika para prajurit Afrika singgah di Harderwijk Belanda, sebelum kembali ke negara asalnya di Ghana. Lukisan karya Isaac Israëls ini, kini menjadi koleksi Rijks Museum di Amsterdam.
Para prajurit yang kembali ke Afrika itu, tidak begitu saja melupakan masa lalunya ketika bertugas di Indonesia. Di negaranya, kelompok prajurit yang kembali ke Ghana itu lalu menamakan bukit di sekitar kediaman mereka, dengan nama “Java Hill”. Nama bukit Java Hill di Elmina Ghana tetap lestari hingga kini.
Usaha melestarikan nama Java Hill di Afrika, kontras dengan upaya penghapusan nama “Gang Afrika” di Purworejo tahun 1990-an. Ketika itu nama historis Gang Afrika, oleh pihak berwenang di Purworejo, sempat diganti jadi Gang Koplak. Warga protes. Nama Gang Afrika bernilai sejarah. Mengapa diganti jadi Gang Koplak? Akibat protes warga, nama Gang Koplak dikembalikan ke nama semula, yaitu Gang Afrika.
Dan bagaimana dengan orang-orang Afrika yang memilih menetap di Jawa? Pasca kemerdekaan, Sukarno mengultimatum, “Orang Belanda mesti pergi dari Indonesia!”. Rentetannya, “Belanda Hitam” yang statusnya tergolong orang Belanda, juga ikut terusir ke Belanda. Kalaupun sekarang ini di Indonesia masih ada keturunan tentara KNIL Afrika, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

                                           Painting by J.C. Leich, 1882
Di Belanda, keturunan Afrika Jawa ini juga dikenal sebagai Indo Afrika. Karena kemiripan fisik, sering mereka disangka etnis Kreol dari Suriname. Maklum, kelompok Kreol Suriname adalah salah satu etnis yang turun temurun banyak bermukim di Belanda.
Yang menarik, tak sedikit keturunan Indo Afrika malah tak tahu menahu kalau mereka punya darah Afrika. Mereka mengaku selama ini cuma tahu, bahwa mereka berdarah Indonesia. Tapi ada sesuatu yang membuat mereka bingung dan bertanya-tanya. Mengapa kulit mereka begitu hitam pekat, bahkan jauh lebih gelap dari suku berkulit paling gelap di Indonesia? Memang banyak juga orang Indonesia berhidung pesek, berbibir tebal, dan berambut keriting. Tapi, toh, mengapa bentuk hidung, bibir, dan rambut mereka sangat khas, yang membuat mereka tak mirip dengan suku mana pun di Indonesia?
Di antara mereka, ada yang baru tahu jawaban atas teka-teki itu setelah dihubungi tim peneliti yang menelusuri silsilah keturunan Afrika Indonesia. Ya, ketidaktahuan tadi, karena di masa lalu orangtua mereka terkesan “tutup mulut” tentang asal-usul Afrika. Mungkinkah karena cerita di balik asal-usul itu adalah masa lalu yang pahit untuk diceritakan?
Foto: Keturunan Afrika di Jawa
Anak cucu dan keturunan Indo Afrika di Belanda tak ingin jejak sejarah masa lalu itu menguap tak berbekas. Karena itu, himpunan Indo Afrika di Belanda lalu bekerja sama mendirikan “Java Museum”, di Elmina, Afrika Barat di tahun 2002. Dengan berdirinya Java Museum Elmina di Ghana itu, masa lalu kakek buyut mereka di Hindia Belanda (Indonesia), terukir menjadi sejarah yang tetap dikenang.

Belanda Kini: Hati-Hati Istilah Rasistis
Jika istilah “Belanda Hitam” di abad 19, masih dianggap biasa saja … bagaimana di abad 21 ini? Seiring dengan pergantian jaman, Belanda kini sangat berhati-hati dengan istilah yang berbau rasistis.
Di jaman ini, telah banyak gerakan internasional yang menentang ide-ide rasisme dan diskriminasi. Sehingga di mana-mana, juga di Belanda, istilah berbau rasistis bisa menjadi masalah sensitif. Jangankan istilah “Zwarte Hollanders (Belanda Hitam)”. Sebutan “Zwarte Piet” alias Piet Hitam saja, sudah sejak beberapa tahun lalu di Belanda diperdebatkan sebagai fenomena rasistis.
Memperlakukan sesama berdasarkan prasangka etnis, ras, warna kulit, agama, tak jarang berakibat runyam.

0 Response to "Belanda Hitam di Gudang Arang"

Posting Komentar