Oleh Sartika, S.Th.I| Aktivis KAMMI Aceh

 "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan".  (Al-Israa' ayat 26-27)
Beginalah lucunya negeri ini dalam memutuskan sebuah keputusan. Seorang pelayan rakyat yang seharusnya hidup lebih prihatin dari rakyatnya namun pada kenyataanya hari ini sedang ada pembangunan Istana Wali Nanggroe dengan biaya lebih dari 35 Milyar.
Hal ini sangat menyedihkan bagi rakyat Aceh, dimana kemiskinan masih dimana-mana, pengemis jalanan masih banyak kita lihat. Apakah layak seorang Pelayan Rakyat hidup bermegah-megahan  di atas penderitaan rakyat Aceh.
Jika keberadaan Wali Nanggroe merupakan turunan referensi masa kesultanan dahulu, maka hidup kejuhudan juga merupakan pokok utama dalam menjalankan tugas, menghabiskan dana 109 juta / Hari bukanlah angka yang kecil untuk sebuah lembaga yang kurang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh saat ini pasalnya dana untuk Syariat Islam plot anggaran APBA kurang dari 5%. 
Hal ini menjadi pertanyaan besar rakyat Aceh dalam melihat komitmen Pemerintah Aceh dalam menjadikan Aceh Syariat Islam yang kaffah.
Melihat masa kepemimpinan Khulafa Urasyidin yaitu Abu Bakar yang di akhir kehidupanya menginfakan seluruh hartanya untuk kepentingan umat, selain itu Umar bin Khatab yang menyerahkan setengah hartanya diberikan kepada baitul mal, dan masa kepemimpinannya juga dikenal seorang Khalifah yag sangat memperhatikan rakyatnya hingga suatu malam dia memanggul sendiri gandum yang aka diberikan kepada rakyat untuk kebutuha kesahariannya, dimana semua orang tertidur lelap.
Dua kepemimpinan yang revolusioner mementingkan semua hak rakyatnya, adakah hari ini pemerintahan kita demikian, atau hanya sebuah janji semata yang gak tau kapan harus direalisasi untuk kesejahteraan rakyat.
Hari ini ada dua petinggi Aceh yang kedudukanya sama-sama Pelayan Rakyat yaitu Gubernur dan Wali Nanggroe sebuah harapan besar kita tumpukan kepada dua pemimpin Aceh hari ini untuk mensejahterakan rakyat Aceh, dan selalu pro terhadap Syariat Islam.
Disamping itu juga Istana Pelayan Rakyat harapanya tidak memilki pengawal yang menyulitkan masyarakat untuk bertemunya antara Majikan dan Pelayan.
Disini sebenarnya Majikan adalah Rakyat dan Pelayan adalah pemerintah, dimana penyedia layanan jika tidak tepat dalam menyelesaikan amanah yang telah diberikan kepada majikan, maka majikan berhak menuntut kembali kepada pelayan, begitulah seharusnya rotasi pergerakan Pemerintah yang dijalankan, bukan sebuah Istana yang tinggi menjulang sehingga menyulitkan kepada majikan masuk dirumah sendiri menjadi sulit.
Dan ini menjadi budaya kita hari ini, dan disini penulis tegaskan bahwa Istana Gubernur, Pendopo, Istana Wali Nanggroe adalah milik Rakyat yang dalam hal ini menjadi majikan jangan pernah takut untuk masuk dan menutut yang menjadi Hak.
Dan kepada Pelayan yang hari ini di Amanahkan untuk tidak membuat benteng besar sehingga menyulitkan bagi majika untuk masuk dirumah sendiri. Bekerja untuk rakyat, bekerja untuk Indonesia, Bekerja untuk Umat adalah prioritas tugas seorang Pelayan Publik.

0 Response to " "

Posting Komentar